Teater Lantai Merah FEB UI membuat terobosan dengan pementasan “Bara” yang dilaksanakan pada Jumat, 16 September 2016 lalu di gedung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki. Mengambil latar kebudayaan jawa pada era 60-an, “Bara” merupakan sebuah kisah penantian. Penantian seorang Ibu terhadap anak lelakinya yang bernama Bara yang hilang dalam kecelakaan kapal laut 12 tahun silam. Kendati pun telah lama hilang, sang ibu masih meyakini bahwa putra kesayangannya masih hidup dan akan kembali ke rumah. Sejak kecelakaan tersebut, setiap detik dalam hidup sang ibu digunakan untuk mempersiapkan kepulangan Bara.
Pementasan dibuka dengan tarian tradisional bernuansa jawa, yang mengisahkan pertemuan dan perpisahan ibu Bara dengan suaminya, yang juga menjadi korban kecelakaan kapal laut bersama bara. Tarian luwes nan indah tersebut dibawakan oleh Muhammad Sukma sebagai bapak, dan Syahda Sabrina sebagai ibu di masa mudanya. Setelah tarian dibawakan, pementasan sandiwara dibuka dengan monolog sang ibu, yang digambarkan sudah tua, 12 tahun kemudian pasca kecelakaan tersebut, yang diperankan oleh Astrid Amalia.
Sang ibu yang merasa kesepian mengisi hari-harinya dengan mengerjakan pekerjaan rumah sembari menyiapkan segala sesuatu untuk menyambut kepulangan bara. Hal ini justru membuat kakak perempuan bara, yang diperankan oleh Anya Zen, menjadi cemburu dan merasa tidak dianggap oleh ibunya sendiri.
Secara umum, teater ini sebenarnya kekurangan plot, karena hanya berfokus pada sang ibu. Terlalu sering lakon yang menampilkan monolog sang ibu. Kekurangan plot ternyata mampu ditambal oleh performa para aktor dan didukung tata suara yang semakin memberikan kesam suram dan kesepian yang ingin ditonjolkan oleh teater ini. Kesendirian yang dirasakan oleh sang ibu mampu ditransfer dengan baik oleh Astrid Amalia kepada penonton. Pun konfliknya dengan anak perempuannya yang merasa diabaikan memberikan simpati tersendiri kepada sang anak perempuan yang telah mencoba segala cara menghibur hati ibunya agar tidak larut dalam kesedihan dan kerinduan. Setiap aktor yang tampil, kecuali tokoh ibu tentunya, sepertinya tahu bahwa peran mereka sebenarnya sedikit, sehingga selalu tampil all out dalam setiap lakon yang mereka jalani. Sandiwara yang dibawakan oleh para aktor patut diacungi jempol.
Terlepas dari kekurangan dan kelebihan pementasan ini, teater “Bara” patut kita apresiasi sebagai salah satu karya anak bangsa di bidang kesenian. Pementasan tetater ini juga membuktikan bahwa anak-anak yang menggeluti ilmu eksakta, yang cenderung mengandalkan otak kiri, ternyata tidak tumpul otak kanannya dalam menciptakan cipta, karya, dan karsa di bidang kesenian. Pastinya, akan ditunggu karya-karya brilian selanjutnya dari Teater Lantai Merah FEB UI. (Fakharsyah Hanif Sugiyartomo)
Leave a Comment